Selasa, 15 September 2009

bahasa amal

Melky Hasali
Allah memberikan hidayahNya kepada orang yang Dia kehendaki. Ini adalah pengalaman pertama saya menyaksikan bai`at di mesjid Al-Hurriyah IPB. Setelah shalat Jum`at, pukul satu saya ada kuliah lagi, tiga puluh menit sebelum masuk saya putuskan untuk meninggalkan mesjid. Namun, sebelum menginjak tangga turun, Ketua DKM, Ust. Syamsudin, mengumumkan bahwa ada mahasiswa yang akan masuk Islam dan beliau mengundang para jama`ah untuk ikut menjadi saksi atas keIslaman mahasiswa tersebut. Tanpa pikir panjang saya langsung balik badan dan langsung mendekat ke mimbar. Begitu pun juga dengan jama`ah lainnya. Ramai sekali antusiame jama`ah saat itu. Kira-kira ada dua ratus orang yang ikut menjadi saksi.
Diawali dengan sedikit tausyiah dari ketua DKM lalu dilanjutkan dengan pengucapan syahadat oleh Melky Hasali, sang muallaf. Sontak suara takbir bergemuruh di dalam mesjid. Kemenangan besar sangat terasa pada saat itu. Haru, kagum, senang, melihat salah seorang saudara kami telah mendapat nikmat yang besar berupa hidayah Islam. Doa pun mengalir dari mulut Ust. Syamsudin yang diamini oleh semua jama`ah. Dengan suaranya yang lirih membuat beberapa jama`ah terlihat menangis. Terdengar sedu sedan tangis di dalam mesjid. Setelah itu, bergantian jama`ah memberikan ucapan selamat dengan jabat tangan penuh kebanggaan.
Melki Hasali adalah mahasiswa IPB jurusan Ilmu Komputer. Satu angkatan dengan saya, angkatan 45. Saya tidak tahu persis tentang riwayat Melky. Yang saya ketahui dari teman saya, dia adalah orang asal Belitung. Bukan riwayat Melky yang menjadi penting, tetapi perasaan yang saya rasakan saat menyaksikan pembai`atannya. Pukulan besar bagi saya melihat ada yang tertarik dengan Islam sampai-sampai benar-benar yakin untuk memeluknya. Melky ingin memiliki yang sejak lahir tidak dia miliki. Ingin merasakan nikmat yang dari dulu belum pernah dia rasakan. Ingin berbuat sesuatu yang dari dulu belum pernah sekali pun dia lakukan. Sedang kita, sejak lahir sudah memeluk Islam, sering tidak merasakan bahwa Islam telah menghujam dalam hati, kita merasa tak memiliki. Merasa Islam bukan sesuatu yang istimewa dan nikmat paling berharga yang kita miliki. Tak was-was dengan kondisi iman sehingga upaya peningkatan menambah ilmu, sebagai pupuk iman, sering dilalaikan. Dengan kualitas dan kuatitas ibadah yang minim kita merasa sudah memegang tiket surga. Padahal langkah yang kita lakukan adalah sebuah mobilitas diri yang semakin mendekati narr Ilahi.
Al-Qur`an yang dibaca hanya diterjemahkan kedalam bahasa ibu belaka. Tidak ada trasformasi upaya menerjemahkan ke dalam bahasa yang dapat dimengerti semua manusia. Bahasa amal. Tak perlu banyak wacana untuk menintegralkan kualitas, cukup dengan berbuat sebagai langkah awal dan kemudian otak kita akan menemukan `jalan-jalan lurus` lainnya menuju umat yang benar-benar berbasiskan Aqidah dan Syariah Islam. Bahasa amal akan dengan mudah dimengerti oleh bahasa budaya, bahasa adat, atau bahasa ibu manapun. Sebuah gerakan akan terbangun dengan kokoh jika masing-masing berlomba-lomba memanivertasikan Al-Qur`an dengan bahasa amal. Fastabiqul Khairat. Sebuah bahasa yang hanya dapat diterjemahkan oleh hati yang toleran dengan banyaknya perbedaan. Sehingga seragamlah semua bahasa yang selama ini hanya menjadi ajang diskusi dan perdebatan. Kajian-kajian yang hanya mengedepankan peningkatan nilai intelektual yang membuahkan ambisi, kepentingan golongan, sudah seharusnya berubah menjadi sebuah kajian dengan bahasa amal yang dipahami.
Melky menjadi cermin bagi kita betapa Islam seharunya sudah mulai untuk kembali kita cintai. Layaknya simpul. Saling menguatkan. Hari itu satu anak manusia menjadi bagian generasi agama rahmatan lil amalin ini. Menjadi laskar yang akan berbicara dengan bahasa amal yang sudah dipelajari. Menerjemahkan Al-Qur`an dan As-Sunnah ke dalam bahasa gerakan amal umat yang kompleks dan sarat dengan perbedaan. Sehingga merubah bahasa perbedaan menjadi bahasa kekuatan. Semoga bahasa-bahasa yang sering kita katakan benar-benar dapat diterjemahkan ke dalam bahasa amal. Bahasa yang universal.
Tasik, 12 September 2009