Senin, 07 September 2009

marah

Marah
Pagi yang aneh, dosen yang aneh. Maaf ya kawan, saya kalo liat orang yang punya tanda bekas sujud di keningnya suka rada tenang. Saya kira ini orang doyan banget tahajud, ilmu agamanya cukup dalam, orangnya tenang, enak diajak bicara, walaupun banyak diamnya, wajar mungkin karena jiwanya yang alim. Yah, begitulah yang saya tarik kesimpulan tentang orang yang berkening hitam. Kesan itu normal kan bila saya katakan. Tapi, pagi ini aneh. Kesan normal saya berubah 100%.
Kuliah pagi, harusnya menyenangkan dan penuh semangat. Ini adalah pertemuan ketiga kuliah kami dengan dosen tersebut. Pertemuan pertama, kesan masa bodo terhadap mahasiswa begitu nampak. Pertemuan kedua, sifat kerasnya mulai dia nampakkan. Nah, di pertemuan ketiga ini, saya bertanya dalam hati, ada apa ini, pasti ada sesuatu yang ga beres. Kenapa dosen ini begitu tidak menunjukkan sikap sebagai pengajar yang patut diteldani. Kasar, berkata pedas, kritiknya tidak efektif. Pasti ada sesuatu yang tidak beres yang pernah terjadi dalam hidupnya yang kemungkinan adalah satu titik balik yang menyebabkan dia berperangai kasar. Sejarah buruk, mungkin begitulah istilahnya.
Pagi itu, saat sedang memberi kuliah, dosen kami ingin menuliskan penjelasannya di atas whiteboard. Kondisi whiteboard pada bagian tengah, sebagian besar tertutupi oleh layar LCD yang diikat dengan seutas tali dan contalkan pada paku dibawah whiteboard. Ternyata agak sulit membuka tali tersebut, dengan susah payah dosen kami yang sedang memegang mic mencoba membuka dengan satu tangan. Karena sulit, mic diletakan di meja. Tiba-tiba mic tersebut terjatuh. Dug. Alih-alih berupaya menyelamatkan mic, dosen kami malah menunjukkan sikap kasarnya dengan menendang kursi sampai terjatuh lalu kembali dengan susah payah membuka tali yang mengikat layar LCD. Berhasil. Tapi terlihat jalas wajah marahnya. “Memang susah hidup di negara miskin.” Begitulah kalimat yang keluar dengan ada marah, ditambah dengan kalimat yang tidak layak dikatakan, apalagi oleh seorang yang berstatus dosen. Suasana kelas jadi sepi. Tak ada yang berani berkomentar. Hati saya sangat berontak. Tidak setuju dengan apa yang dosen kami lakukan. Dosen macam apa itu. Saya harus membuat surat kepada dekan, kalo perlu kapada rector sekaligus. Harus saya lakukan. Kami mahasiswa, secara nurani, tidak setuju dengan sikap dosen itu. Hal ini tidak bisa biarkan begitu saja. Harus ada yang berupaya berbuat untuk melakukan perubahan.
Saya berpikir, mengingat masa lalu. Rasa-rasanya saya pernah berbuat hal yang hampir sama yang telah dosen saya lakukan. Marah dengan cara yang sangat tidak efektif, bahkan membuat jiwa orang lain tidak tenang. Yah, memang pernah. Saat saya masih mondok di pesantren. Entah karena apa saya tiba-tiba dengan ke kamar dengan marah-marah. Bicara kasar, mengkritik keadaan, sumpah serapah dengan sesuatu yang tidak diinginkan ego saya. Saat itu, anak kamar saya (adik-adik kelas) merasa harus hati-hati menyapa saya. Saya pun langsung cari-cari kesalahan anak kamar kamar yang sedikit sulit diatur. Mereka saya salahkan. Dengan ceramah yang tidak tepat waktu dan caranya. Semua diam, dan merasa menjadi manusia paling bersalah. Tapi, saya yakin hati kecil mereka merasa sangat tertekan dengan sikap saya dan tidak berani berbuat apa-apa karena khawatir saya akan lebih marah dan berbuat anarkis.
Yah, saya mengaku salah dan tidak ingin lagi seperti itu. Hal ini juga yang saya harapkan terjadi pada dosen kami. Saya sangat yakin, ada alasan yang membuat dia bersikap tidak ramah. Semoaga beliau kembali menemukan titik balik yang sebenarnya untuk dapat merubah sikap kasarnya. Marah bukan jalan terbaik dalam mengekspresikan perasaan benci. Dan tak akan ada artinya sebuah harapan tanpa doa. Saya berharap dan berdoa semoga dosen kami dapat lebih bersikap dengan sikap yang dapat kami teladani. Amiin.
Bogor, 8 September 2009

Tidak ada komentar: