Sebelum kau pergi untuk mencium bumi hingga kiamat
Kulihat tanganmu masih belum tertidur merajut selendang keramat untuk kau kenakan
Rajutan itu bukan dengan sepintal benang saja
Kau perlu jalani lumpur juga petir berbukit
Untuk temukan kepompong yang ada dalam khayal tinggimu
Wajah-wajahmu yang kuingat tingga bingkai dalam museum sejarah pribadiku
Nanti juga akan kurasa kepahitan dan kerutan dahi yang pernah kau rasa
Untukku berdiri di atas berapinya jalan hidupku oleh sengau suara dukungan dari kuburmu
Dengan nada-nada doa aku coba kirim surat
Bacalah dengan indra keenam, butamu sudah jadi bangkai mewangi
Tak akan pernah lagi kau sadari
Betapa gemuruh di dada terus merindu
Wanita penyulam di malam larut
Terus menyulam tanpa siapa tahu penerusnya
Namun, rajutanmu tak lagi ada yang boleh sempurnakan, karena sudah sempurna sejadinya
Kira-kira, kapan kau akan memanggilku lagi dengan kebisuanmu tentangku
Dimana kita akan dapat lagi berpelukan seperti hari raya yang selalu kita nanti
Siapa saja yang akan kita temukan nanti, setelah kau rasa ribuan tahun karunia dari Penciptamu
Kapan pun, dimana pun, dan siapa pun, ku ingin nantinya lebih mesra tanpa kebisuan untuk saling memuji
Tanpa ada rasa malu untuk lepaskan aura cinta yang mengalir deras ke atas langit
Selasa, 06 Oktober 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar